foto : Internet

Saat ini lembaga Instruments bekerjasama dengan GSA Production, sebuah kelompok kerja yang berbasis gotong-royong, sedang mengembangkan sebuah aplikasi penjualan khusus untuk UKM dan industri rumahan.

Aplikasi gratis ini ditujukan bagi pelaku usaha kecil agar bisa bersinergis dengan perkembangan jaman, dan bisa membuat jejaring usaha yang dapat meingkatkan daya saing dan daya tumbuh yang sustainable kedepan.

Meski sudah banyak aplikasi jual beli online, kami tetap optimis dapat berkembang bersama UKM dan industri rumahan. Dengan komitmen sosial dan gotong-royong semoga aplikasi ini dapat memberikan kontribusi bagi eksistensi UKM dan industri rumahan di Indonesia. Terutama bagi mereka yang belum mendapatkan tempat di berbagai platform secara strategis.

Bagi kami UKM harus berjaya dan mandiri, bukan sekedar menjadi bagian pelengkap dalam entitas bisnis dan usaha di Indonesia. UKM go!!

3 Ide Pemberdayaan Masyarakat Melalui Wirausaha Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari wirausaha sosial. Salah satunya adalah dalam hal peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Selain dapat menyejahterakan masyarakat, wirausaha sosial juga dapat menjadi solusi akan berbagai masalah sosial yang ada. Tentunya tidak melupakan faktor sumber daya manusia yang juga berkontribusi dalam kegiatan tersebut.

Dalam memecahkan masalah sosial yang ada, dibutuhkan berbagai ide dan strategi agar hasil dan solusi yang didapat bisa maksimal. Untuk para pemula di bidang bisnis maupun para wirausahawan, beberapa cara di bawah ini kiranya dapat menjadi acuan untuk mengupayakan pemberdayaan masyarakat melalui wirausaha sosial:
  1. Menjadi Penyalur Hasil Produksi Masyarakat
Mereka yang menjadikan wirausaha sosial sebagai cara dalam pemberdayaan masyarakat secara tidak langsung akan menjadi penyalur hasil produksi dari masyarakat. Contohnya adalah produksi kerajinan tangan. Masyarakat yang turut serta berkontribusi dalam kegiatan wirausaha sosial dapat mendistribusikan hasil produksi kerajinan tersebut dari mulut ke mulut maupun dengan bantuan media sosial. Hal ini juga dapat menjadi sarana apresiasi akan produksi yang telah dihasilkan. Jadi, tentu saja pemberdayaan masyarakat dalam hal ini sangat penting karena mereka dapat menjadi penyalur hasil produksi. Dengan begitu, proses distribusi pun dapat berjalan dengan baik.
  1. Memberdayakan Masyarakat Sebagai Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik adalah salah satu faktor penentu sukses atau tidaknya suatu wirausaha sosial. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan berbagai pelatihan untuk menambah kemampuan dan wawasan. Dengan begitu, bukan hanya wirausaha sosial Anda akan terbantu, tapi Anda juga bisa membantu masyarakat dari segi edukasi dan penambahan skill. Adanya trialdan error dalam setiap pelatihan itu hal biasa apalagi dengan latar belakang pengalaman seseorang yang masih minim. Namun, dengan kegigihan dan pelatihan yang konsisten, masyarakat daerah bisa menjadi sebuah aset SDM bagi perusahaan.
  1. Menggerakkan Aksi Sosial

Selain memecahkan berbagai masalah, pemberdayaan masyarakat melalui wirausaha sosial juga bisa menggerakkan aksi sosial. Contohnya adalah situs kitabisa.com. Sebagai salah satu wadah dana gotong royong, kitabisa.com bertujuan untuk mendukung berjalannya proyek komunitas atau individual melalui publikasi di media social. Publikasi yang masif tersebut diharapkan bisa menarik perhatian orang untuk kemudian ikut berkontribusi demi menyukseskan penggalangan dana tersebut. Sebuah aksi sosial dapat berjalan dengan efektif dan masif jika pemberdayaan masyarakat juga dilakukan secara efektifnya.

Hal paling penting dalam usaha pemberdayaan masyarakat melalui wirausaha sosial adalah konsistensi dalam mencapai tujuan. Dengan berbagai pelatihan dan bimbingan yang tepat, bukan tidak mungkin bisnis yang sedang Anda jalankan akan dapat tumbuh pesat karena memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Secara tidak langsung, masyarakat adalah tonggak utama dari kesuksesan suatu bisnis, karena sumber daya manusia yang baik dapat memicu perkembangan bisnis yang sedang digeluti.

Ketiga ide di atas hanyalah sedikit cara untuk dapat memberdayakan masyarakat secara maksimal. Anda juga dapat mempelajari berbagai tips dan trik pemberdayaan masyarakat dalam buku ‘Berani Jadi Wirausaha Sosial?’. Unduh e-booknya secara gratis di sini.
Sumber : https://www.dbs.com/indonesia-bh/blog/live-kind/3-ide-pemberdayaan-masyarakat-melalui-wirausaha-sosial.page
Salah satu contoh kegiatan keterampilan Ibu-Ibu

Salah satu contoh kegiatan keterampilan Ibu-Ibu

Mengolah bahan atau barang limbah menjadi barang bernilai ekonomi merupakan salah satu cara yang paling mudah di lakukan oleh para ibu-ibu rumah tangga di wilayah industri. Ketersediaan bahan menjadi salah satu faktor yang mempermudah. keberadaan ibu-ibu di kawasan industri yang tidak mempunyai kegiatan produktif (menghasilkan penapatan keluarga) juga menyimpan potensi ekonomi yang tinggi. Namun meski demikian dibutuhkan inisiatif dari berbagai pihak agara potensi tersebut dapat diperdayakan.

 

Contoh Kegiatan pembuatan Kerajinan dari Kertas Limbah

Contoh Kegiatan pembuatan Kerajinan dari Kertas Limbah

Instruments merupakan salah satu lembaga yang mempunyai perhatian terhadap potensi tersebut, telah melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan keterampilan diberbagai tempat, mulai dari memberikan kursus komputer bagi para pelajar, melatih para ibu membuat suatau kerajian, danpelatihan kewirausahaan sebagainya.

 

 

Peduli Bencana

Dari tahun ke tahun, skala bencana alam di negeri ini tak kunjung berkurang namun justru cenderung semakin luas. Bencana memang tidak bisa di prediksi namun risiko dan akibat buruknya dapat kita minimalisir, melalui tindakan pencegahan, mitigasi dan advokasi. Bangsa kita telah diwariskan budaya gotong-royong sebagai solusi atas problem sosial yang terbukti ampuh.

Sebagai bagian dari program advokasi sosial dan bencana, Lembaga Instruments kembali mengajak khalayak para dermawan untuk bergotong royong meringankan beban sosial dan korban bencana di Indonesia melalui :

Rekening BRI No. 0120 01 063006 50 8 atas nama Lembaga Instruments.

Terimakasih.

 

 

image

Ket : Salah satu kegiatan pelatihan pemuda

  Dalam memberdayakan pemuda, ada beberapa kategori pemuda yang perlu diberdayakan. Pertama, pemuda yang sudah punya usaha sederhana dan memerlukan pengembangan. Kedua adalah pemuda yang punya keahlian, tetapi tidak memiliki modal. Ketiga adalah pemuda yang punya modal, tetapi tidak memiliki keahlian. Keempat, tidak punya modal dan tidak punya keahlian. Yang paling banyak di Indonesia saat ini adalah pemuda yang kategori keempat.

     Menurut data Menpora, angka pengangguran terbuka pemuda sekitar 19,5 persen. Ini terjadi karena rendahnya kesempatan akses pendidikan baik formal maupun informal terutama di daerah yang akhirnya akan menimbulkan ancaman kriminalitas dan ketertiban umum yang dilakukan oleh pemuda.

     Permasalahan utama dalam mengembangkan kewirausahaan pemuda adalah karena kurangnya kesadaran akan pentingnya menjadi pemuda yang mandiri dan berwirausaha. Banyak saat ini pemuda yang tergabung dalam OKP lebih berorientasi kepada pergerakan politik dan kekuasaan sehingga mereka cenderung memilih cara instan untuk menjadi terkenal dan politisi andal, tetapi dari aspek ekonomi pemuda jauh tertinggal.

     Banyak di kalangan mereka justru menjadi broker politik dan menjadi alat bagi parpol untuk meraih kekuasaan. Jadi, tahap awal yang harus dibangun dalam memberdayakan pemuda adalah membangun jiwa pemuda yang mandiri dan menanamkan semangat hidup berwirausaha sehingga kemandirian akan mudah dibangun.

      Slogan-slogan pemuda mandiri dan berjiwa bisnis perlu dijadikan slogan nasional bagi pemuda sehingga setiap aspek pendidikan pemuda baik formal maupun informal menanamkan semanagat berwirausaha. Permasalahan kedua adalah susahnya mendapatkan modal usaha dan minimnya akses informasi mengenai modal usaha. Selama ini mereka hanya mengandalkan pihak bank untuk mendapatkan modal yang sudah tentu memerlukan agunan sertifikat tanah, bank-bank pemerintah, maupun swasta belum memiliki program pemberdayaan kewirausahaan pemuda.

      Karena itu, diperlukan sebuah terobosan dari Menpora untuk membuka akses bagi pemuda dengan cara menjadi penjamin bagi pemuda untuk mendapatkan modal. Dengan sistem rekomendasi dari pemerintah, bank-bank dapat memberikan kepercayaan kepada pemuda untuk mendapatkan modal.

      Kedua, Selama ini Menpora tidak memiliki anggaran untuk memberikan modal usaha. Justru program-program bantuan modal usaha ada pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Untuk itu diperlukan kerja sama yang lebih terbuka dengan instansi terkait sehingga akses pemuda untuk mendapatkan modal lebih terbuka dengan adanya kerja sama tersebut.

      Ketiga adalah permasalahan rendahnya skill yang dimiliki pemuda dalam berwirausaha. Untuk itu diperlukan pelatihan-pelatihan yang bersifat keahlian dan kewirausahaan. Ini dapat dilakukan bekerja sama dengan OKP dan Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki oleh Depnakertrans. Dengan dibukannya pelatihan-pelatihan tersebut, maka diharapkan pemuda dapat menambah keahlian dan pendidikan informal untuk berwirausaha.

      Keempat adalah lemahnya pendampingan. Banyak pemuda yang bergerak di bidang UKM memerlukan pendampingan untuk membuka dan mengembangkan usahanya. Untuk itu diperlukan lembaga-lembaga konsultan wirausaha yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta yang mampu memberikan arahan kepada pemuda dalam berwirausaha. Dengan demikian, keberadaan ‘Youth Center’ sangat diperlukan melalui bekerja sama dengan instansi terkait, terutama pemerintah daerah untuk memudahkan pemuda mendapatkan akses pendampingan tersebut.

      ‘Youth Center’ yang banyak dikembangkan seperti di negara-negara maju nantinya menjadi pusat kegiatan pemuda yang berorientasi pada pemberdayaan kewirausahaan sehingga akses pemuda untuk mendapatkan informasi dan membuat kegiatan yang mengasah kemampuan mereka berwirausaha dapat dilakukan di sana. Pemuda juga diharapkan dapat saling bertukar informasi untuk mengembangkan usaha.

      Menpora hanya bisa memberdayakan pemuda pada taraf kebijakan. Untuk itu diperlukan kerja sama dengan instansi lain yang memiliki program pemberdayaan masyarakat, seperti Departemen Koperasi dan UKM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Sosial. Dengan demikian, program pemerintah untuk memberdayakan pemuda berwirausaha dapat berjalan dengan baik dan ada sinergi antara departemen untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.

      Diperlukan akses yang lebih terbuka bagi pemuda untuk berwirausaha. Namun, yang paling penting adalah bagaimana menanamkan semangat berwirasusaha dan kemandirian bagi masyarakat khususnya pemuda. Diperlukan sebuah campaign dan slogan resmi dari pemerintah untuk menciptakan bahwa berwirausaha dan kemandirian adalah budaya bangsa sehingga pemuda Indonesia adalah pemuda yang mandiri dan memiliki jiwa kewirausahaan.

      Problem yang mendasar bagi pemuda dalam beriwira usaha adalah susahnya mendapatkan modal usaha. Diperlukan sebuah kebijakan dari pemerintah untuk memudahkan bagi para kaum muda mendapatkan modal usaha. Tentunya bekerja sama dengan lembaga-lembaga perbankan dengan pemerintah sebagai penjamin dan pendamping. Dengan adanya jaminan dari pemerintah maka pemuda dapat berwirausaha dengan modal yang cukup.

      Pemerintah daerah perlu dilibatkan untuk memberdayakan pemuda dalam berwirausaha karena mayoritas pemuda yang menganggur berada di daerah. Harus ada program-program yang nyata dari pemerintah pusat dan bersinergi dengan pemerintah daerah sehingga pemberdayaan pemuda menyentuh permasalahan utama di daerah, yaitu mengurangi jumlah pengangguran pada pemuda. ***

Sumber : Republika
WRITE : Anjar Irawan, SMAI N.H 

http://perintisusahamuda.blogspot.com/p/2-pemberdayaan-pemuda-wirausaha.html

Jumat, 31 Oktober 2014 | 15:12 WIB

Oleh: Ivanovich Agusta

KOMPAS.com – Beratnya amanat kepada pemerintah dalam Undang-Undang Desa (UU No 6/2014) ataupun ketransmigrasian (UU No 29/2009) membuhulkan relevansi pendirian Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Apalagi secara faktual telah terjadi perubahan pola pendorong transformasi desa sejak 1984, dari masyarakat kepada pemerintah. Indikasinya, bantuan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam anggaran desa mengisi 76 persen (total Rp 13,5 triliun) pada tahun 2011. Adapun pendapatan dari dalam desa hanya mencapai 18 persen (total Rp 3 triliun).

Sayang, selama ini pemerintah kesulitan memandang totalitas desa di Tanah Air. Miopia tersebut mencakup ketidaktahuan secara pasti tentang jumlah dan tingkat perkembangan desa hingga kesulitan menemukan kaidah beserta jalur pembangunan desa yang khas.

Kurangnya kesadaran tentang lanskap totalitas desa menghasilkan perencanaan pembangunan yang minimal. Selama periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, misalnya, 24 kementerian dan lembaga berencana memasuki hanya sekitar 12.500 desa.

Ironisnya, 54 persen desa (42.000) dimasuki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Selain bersifat ad hoc bagi swasta (dibandingkan dengan kerja rutin birokrasi pemerintah), program yang disokong donor luar negeri ini lebih mengedepankan kerja konsultan daripada pembangunan desa sendiri.

Dari dokumen utang Indonesia kepada donor untuk PNPM Mandiri Perdesaan periode 2012-2015, tertulis 69 persen utang (450 juta dollar AS) ditujukan bagi konsultan pendamping dan tenaga ahli.

Program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga desa dalam persaingan pasar ini pun mengerucut kepada desa-desa maju yang lebih mampu bersaing. Desa swasembada sebagai peringkat desa termaju hanya berjumlah 3 persen dari semua desa. Namun, 65 persen lokasi PNPM diletakkan pada kelas desa ini.

Berlawanan dari hal tersebut, desa swadaya masih mencapai 46 persen. Sayang kelas yang setara dengan desa tertinggal ini hanya dikunjungi 1-7 persen program pembangunan.

Kaidah pembangunan desa

Jumlah desa terus meningkat dari 69.000 tahun 2003, 70.000 tahun 2005, 75.000 tahun 2008, 80.000 tahun 2011, hingga diperkirakan 86.000 tahun depan. Namun, perencanaan yang minim dan kebijakan berbasis persaingan antardesa di atas telah menyempitkan akses terhadap pembangunan.

Pada masa depan, kesalahan kebijakan itu perlu diperbaiki sesuai dengan kaidah pembangunan yang khas tersusun dari kondisi desa nusantara sendiri. Pertama, konstitusi dan beragam peraturan perundang-undangan turunannya senantiasa mencantumkan visi kesejahteraan warga negara sebagai tujuan akhir pembangunan. Berdasarkan visi itu, dapat diambil kebijakan afirmatif yang disusun khusus bagi desa swadaya atau tertinggal, baru selanjutnya diarahkan kepada desa swakarya atau desa transisi.

Kedua, peningkatan pembangunan berlangsung serupa pada beragam tipologi desa. Landasan evolusi desa dalam kebijakan selama ini—yaitu dari desa hutan menuju desa sawah lalu menjadi desa industri dan jasa—ternyata tidak memiliki bukti-bukti riil di sini.

Sebaliknya, desa-desa persawahan, perkebunan, pesisir, pertambangan, perindustrian, dan jasa ada yang berposisi tertinggal sampai yang maju. Konsekuensinya strategi pembangunan desa dilarang seragam. Keragaman kebijakan desa seharusnya disesuaikan dengan tipe geografi dan tipe mata pencarian tersebut.

Ketiga, pola pelaksanaan pembangunan desa mencipta kurva kecepatan S. Desa tertinggal ataupun desa maju secara relatif sama-sama lambat berproses untuk membangun. Sebaliknya, desa swakarya atau transisi justru sangat responsif terhadap umpan-umpan pembangunan.

Perbedaan pola kecepatan tersebut menimbulkan kebutuhan diperbesarnya alokasi pembangunan bagi desa tertinggal. Adapun pada desa-desa transisi perlu disusun kelembagaan pengawal perubahan sosial yang sangat cepat.

Keempat, substansi pembangunan sendiri perlu disesuaikan dengan peringkat desa. Statistika desa menunjukkan memang terdapat substansi inti yang harus selalu tersedia, yaitu program kesehatan, layanan transportasi, peningkatan kapasitas pemerintah desa, dan pemberdayaan masyarakat.

Program air minum

Secara khusus pada desa tertinggal perlu ditambah program air minum dan kelembagaan keagamaan. Pada desa transisi tambahan program yang dibutuhkan lebih banyak lagi, meliputi listrik, pos dan telematika, energi, pengembangan industri, kredit, perdagangan, lembaga kemasyarakatan, dan permukiman. Desa-desa maju hanya perlu tambahan program industri, energi, pendidikan, dan perdagangan.

Desa-desa transmigrasi selama ini mengikuti pola serupa. Tambahan kekhasan di wilayah transmigrasi ialah dualisme masyarakat lokal dan pendatang.

Untuk mengintegrasikan keduanya, lazim dikembangkan transmigrasi swakarsa yang dikembangkan masyarakat sendiri. Di samping lebih mahir mempertimbangkan potensi sumber daya lokal, transmigran swakarsa lazimnya juga piawai menjalin hubungan dan menghindari konflik dengan warga lokal.

Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2014/10/31/15125791/Desa.Tertinggal.Transmigrasi

Tentang Instruments

April 15, 2009

Instruments (Institut untuk Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat) merupakan Organisasi nirlaba yang independen. Didirikan pada bulan Mei 2003 oleh beberapa aktivis gerakan prodemokrasi dan LSM antara lain dari PPBI, LPHAM (Lembaga Pembela Hak Azasi Manusia, LBH Keadilan dan LAPB (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Buruh).Pendirian lembaga ini didasarkan atas situasi sosial politik saat itu yang mengharuskan adanya kerja yang serius dan terencana dalam membangun struktur masyarakat sipil yang kuat.Ide pendirian lembaga ini bukan semata latah dalam eforia reformasi, namun justru karena melihat bahwa reformasi telah melenceng dari cita-cita awal tentang perubahan yang benar-benar menguntungkan bagi kehidupan rakyat.

Namun reformasi telah berjalan sepuluh tahun lebih belum dapat membawa dampak signifikan bagi kehidupan rakyat yang lebih baik. Kemiskinan masih tersebar, pengangguran makin bertambah, sedang tingkat penghasilan semakin turun nilainya.

Untuk itu perlu adanya kerja-kerja untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemandirian, kerjasama, gotong royong adalah kunci dari keberhasilan masa datang.

VISI DAN MISI

Visi dari Lembaga ini adalah terciptanya struktur masyarakat sipil yang kuat dalam dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Misi Instruments adalah memberdayakan masyarakat di semua bidang kehidupan dengan program-program yang konkrit dan mengedepankan partisipasi masayrakat.

SUMBER DANA

Pembiayaan Lembaga di lakukan secara mandiri dengan melakukan iuran dan bantuan pihak lain yang tidak mengikat dan saling mengutungkan.

KEGIATAN

  1. Pelatihan dan kursus-kurusus ketrampilan.
  2. Riset atau penelitian dibidang sosial dan ekonomi masyarakat
  3. Pendampingan UKM
  4. Advokasi Sosial dan Bencana

MITRA KERJA

Mitra kerja mencakup dalam dan luar negeri:

Ormas

Institusi Pemerintah

Komunitas Masyarakat

Individu

Institusi ekonomi / badan Usaha

Lembaga Pendidikan

dll

BADAN PENGURUS

Pengurus Instruiments :

Ketua                             :  LUKMAN HAKIM, S.IKOM

Sekretaris                       : NOFI MARZUKI

Bendahara                      : FITRIA HANDAYANI

Ka.Divisi Program           :  MARGARETHA LINGGA

WAGIMAN

Ka. Divisi Riset              :  DARMAJI, JS

Ka. Divisi Perempuan dan Anak : N A D I A A R I M B I

 Dalam menjalankan program-programnya lembaga ini juga merekrut relawan-relawan yang disesuaikan dengan kebutuhan, mulai dari community organizer, peneliti dan tenaga pendidik. Para relawan ini direkrut dari lembaga-lembaga akademik, profesional, dan pemerintah. Instruments juga membuka peluang kerjasama dengan pihak lain yang seide dan sejalan dengan program-program yang telah di tentukan.

Melawan Kemiskinan

December 24, 2006

Melawan Kemiskinan
Oleh L a u n a

TANGGAL 17 Oktober lalu komunitas global baru saja merayakan hari anti kemiskinan se-dunia. Akan tetapi di negeri ini, kemiskinan adalah simbol sosial yang nyaris absolut dan tak terpecahkan. Sejak masa kolonial hingga saat ini, predikat negeri miskin seakan sulit lepas dari bangsa yang potensi kandungan kekayaan alamnya terkenal melimpah. Cerita pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan terjadinya berbagai musibah alam dan bencana buatan: gempa bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran hutan yang diikuti kabut asap. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini kian hari kian menyebar bak virus ganas, mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan, penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan.

Lepas dari perdebatan indikator yang digunakan, data kemiskinan di negeri ini terus menunjukkan trend memburuk. Jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 17 persen dari populasi penduduk yang kini telah mencapai angka 220 juta jiwa. Menurut data resmi Susenas (BPS, 2006), jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta jiwa (15,97 persen) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75 persen). Sementara jumlah penganggur menurut data Sakernas (BPS, 2006) juga terus meningkat dari 10,9 juta jiwa (10,3 persen) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta jiwa (10,4 persen) pada Februari 2006.

Padahal, perang melawan kemiskinan sudah ditabuh sejak lama di negeri ini. Di era Orde Baru, misalnya, pemerintah menggalang berbagai sarana dan cara untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan fisik digenjot di berbagai bidang, pertumbuhan ekonomi menjadi fokus perhatian, investasi asing digalakkan, berbagai jenis skema kredit investasi kecil dan kredit modal kerja digelar, bahkan utang luar negeri pun ditempuh sebagai alternatif untuk menopang idea of progress bernama pembangunan. Akan tetapi, karena keberpihakan ideologis pemerintah tak jelas, hasil pembangunan ala Orde Baru itu tak bisa sepenuhnya bisa dirasakan rakyat lapis bawah. Yang terjadi, seluruh angka-angka keberhasilan pembangunan yang digarap secara intens selama 30 tahun itu, rontok tersapu krisis ekonomi dan gejolak politik tahun 1998.

Meski pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi virus endemis yang terus mendera rakyat. Secara empirik, data pemerintah menunjukkan, 70 persen rakyat kita menggantungkan sumber penghidupannya dari sektor ekonomi mikro berbasis sumber daya alam terbarukan. Di sektor pertanian, petani kita telah sejak lama mengembangkan tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan. Di sektor kelautan dan perikanan, nelayan kita sanggup mengembangkan perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri bioteknologi kelautan, dan non-conventional ocean resources. Sementara di sektor kehutanan, masyarakat kita mampu mengoptimalkan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan agroforestry.

Pada level teknis, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 persen anggaran pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana pembangunan yang berjumlah lebih dari Rp 50 triliun parkir di Bank Indonesia. Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola dana pemerintah daerah), lebih dari Rp 40 triliun juga parkir dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana “menganggur” ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan pertumbuhan sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Pada level global, Indonesia juga telah masuk dalam kategori negara yang paling gagal dalam pencapaian target-target Millenium Development Goals (MDGs), sebuah komitmen global yang ikut ditandatangani pemerintah Indonesia guna mengatasi masalah kemiskinan akut. Padahal, kucuran dana yang datang dari World Bank, IMF, ADB, CGI, dan donor bilateral (baik dalam bentuk hibah maupun utang) yang mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan mencapi angka puluhan milyar dolar. Di sini, komitmen melawan kemiskinan menjadi patut dipertanyakan.

Contoh nyata melawan kemiskinan sebenarnya telah terbentang di depan mata. Pada aras global, gerakan masyarakat sipil anti globalisasi-neoliberal (sejak Seattle, Cancun, Hongkong, hingga Singapura) terus menyerukan ”Global Call to Action Against Poverty”. Mereka dengan gamblang menunjukkan berbagai metode dan aksi-aksi politik nyata guna melawan sumber-sumber kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian 2006, yang mendesain model ”Bank Grameen” (dan fungsi intermediasi)-nya sebagai solusi efektif memerangi kemiskinan di Bangladesh, sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi kita dalam melawan kemiskinan.

Masalahnya sekarang, apakah para elite, politisi, dan birokat kita punya keberpihakan ideologis untuk melawan kemiskinan? Adakah komitmen tegas dari para penentu kebijakan negara untuk memberantas KKN secara radikal? Jika negara tak sanggup menyatakan perang terhadap kemiskinan, gagal dalam memerangi korupsi, dan tetap malas melaksanakan agenda reformasi sebagai perintah konstitusi, maka kemiskinan bangsa—yang di masa kolonial pernah disebut ”nation van Koelis”—mungkin akan menjadi simbol abadi negeri ini. ***

Program Officer ALNI Indonesia dan dosen Ilmu Politik FISIP-UBK

Politisi dan Binalitas Politik
Oleh L a u n a

KUALITAS moral politisi di negeri ini memang sudah amburadul. Politik kini tak lagi sekedar senyawa dari kuasa dan uang, tapi ia merupakan kesatuan dari kuasa, uang, dan seks. Skandal yang kini tengah menghebohkan publik terkait perbuatan mesum seorang politisi DPR (berinisial YZ) dengan seorang penyanyi dangdung (berinisial EM), tak tanggung-tanggung disebarkan lewat video. Dalam hitungan menit, rekaman adegan panas itu telah beredar dari tangan ke tangan, email ke email, jaringan-jaringan milis, dan kantor-kantor redaksi media massa (cetak maupun elektronik).

Seperti kata Boni Hargens (Kompas, 7/12/06), hipotesis tritunggal “kekuasaan, uang, dan seks” kini makin teruji validitasnya. Kuasa politik bukan cuma telah menjadikan para aktornya bersikap banal (baca: politik yang dangkal dan sia-sia, karena para pelakunya bersikap power oriented), tapi juga binal (baca: bukan cuma rakus uang dan kuasa, tapi juga penuh nafsu).

Pesan penting dari terbongkarnya kasus mesum DPR adalah kemorosotan politik tidak hanya ditandai oleh banality of politics, tapi juga oleh binalitas manusia yang kian mendekatkan manusia pada hakekat alamiahnya sebagai homo sexus.

Adakah perbuatan yang kadar aibnya lebih besar dari terbongkarnya sebuah skandal seks? Mungkin ada. Namun, sulit dibantah, terbongkarnya skandal seks seorang anggota DPR bisa menjadi malapateka politik, apalagi jika perbuatannya disertai dengan bukti gambar bergerak. Sebab, harga sebuah martabat begitu mahal bagi seorang politisi, yang menggantungkan karier dan reputasinya dari pencitraan masyarakat.

Teknologi digital telah membuat dokumentasi kemesuman yang tadinya bersifat pribadi berubah menjadi tontotan umum yang sulit dibendung penyebarannya. Perbuatan tak senonoh seperti selingkuh, mesum, atau sejenisnya adalah ekspresi dari bentuk-bentuk pornografi yang potensial merusak moral publik.

Pornografi atau pornoaksi—apakah berbentuk media cetak, lukisan, atau film—yang dibuat secara pribadi atau diproduksi secara massal bertujuan untuk membakar libido (syahwat) orang yang membaca, melihat, atau menontonnya. Pornografi adalah bisnis sekaligus industri yang pada intinya ingin mengeksploitasi fantasi orang tentang seks.

Pertanyaannya, mengapa si pelaku mesum mau merekam—melalui video atau telepon seluler—adegan intim yang dilakukannya? Dari kacamata “Pornutopia”, kita dapat memahami apa yang menyebabkan seseorang merekam adegan intim. Rekaman video mungkin bisa menjadi semacam katalis (perangsang) saat si pelaku melakukan senggama sambil melongok video tadi. Pornutopia merupakan fenomena seks yang muskil, yang ekspresinya kerap lepas dari ikatan dimensi tempat dan waktu.

Pada dasarnya setiap manusia menyukai fantasi. Steven Marcus dalam Other Victorian menggambarkan bahwa pornografi adalah refleksi lanjut dari fantasi. Ia merupakan bentuk lain dari pelarian (eskapisme) manusia atas situasi tertentu yang tengah dialaminya. Kendati fantasi merupakan salah satu kekuatan imajinatif manusia, ia dapat berujung negatif jika yang difantasikan adalah perilaku tertentu yang melanggar batas-batas nilai kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.

Politisi atau artis dangdut, yang secara kodratiah adalah manusia, juga memiliki fantasi-fantasi dalam hidupnya. Tak sedikit artis atau pelawak yang tadinya sekedar berfantasi—misalnya berperan sebagai politisi dalam sebuah sinetron—kini benar-benar jadi politisi. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga punya fantasi. Menurutnya, tahun 2009 nanti, Indonesia akan punya presiden dari kalangan pengusaha. Juga tak sedikit anak muda kita dari kalangan biasa berfantasi jadi selebriti, dan mereka pada akhirnya bisa menuai sukses melalui Indonesia Idol atau Kontes Dangdut TPI (KDI).

Namun, menurut teori insting Sigmund Freud, fantasi paling dahsyat dan paling umum menggoda otak (bawah sadar) manusia—tidak pandang jenis kelamin, umur, status sosial, ideologi yang dianut atau kedudukan—adalah fantasi seks. Punya istri yang cantik atau punya “simpanan” yang siap melakukan apa saja di atas ranjang. Sexual instinct merupakan dorongan terkuat dalam diri tiap orang, tulis Freud.

Itu sebabnya, pornografi adalah bisnis yang paling laku di seluruh dunia. Makin keras pemerintah dan masyarakat melakukan upaya pemberantasan bisnis pornografi, industri seks justru kian berkembang pesat. Produsen bisnis pornografi meyakini sepenuhnya bahwa teori Freud tentang fantasi seks manusia adalah bisnis yang paling mudah, murah, dan menguntungkan. Dan untuk itu, fantasi seks harus dieksploitasi.

Kisah politisi atau selebriti yang tersandung skandal seks sebenarnya bukan cerita baru. Masih segar dalam ingatan kita kisah Bill Clinton dan Monica Lewinsky, kisah seorang Menteri di Rusia yang—baru-baru ini—terpaksa mengundurkan diri setelah video berisi adegan seksnya dengan seorang wanita lain beredar bebas di pasar.

Di dalam negeri, kita bisa membuat daftar panjang pejabat-pejabat, dari menteri sampai bupati, yang dipermalukan oleh terbongkarnya kisah mesum mereka. Begitulah prilaku sebagian pria (atau wanita) dewasa yang tipis iman tapi dikaruniai kedudukan, harta, kesempatan, dan kelebihan syahwat secara bersamaan. Bedanya, ada yang pandai ”bermain”—menyelesaikan semuanya secara rapi tanpa meninggalkan jejak—dan ada juga yang ceroboh, untuk tidak menyebutnya bodoh.

Kejahatan kelamin, begitu guyonan sebagian pria dewasa untuk menyebut kisah-kisah asmara terlarang dengan wanita bukan muhrim, memang marak dalam gemuruh hidup metropolitan. Biasanya, tema-tema ini menarik untuk diperbincangkan ketika beberapa pria dewasa—yang umumnya sudah berkeluarga—tengah kumpul atau ngobrol. Tema obrolan kerap tak jauh dari isu tak senonoh, seperti mesum atau selingkuh.

Beberapa orang bisa terbuka, bahkan bangga, berkisah mengenai “kejahatan kelamin” yang pernah dilakukannya, mulai dari menyimpan “piaraan” sampai jajan yang hit and run. Beberapa lagi memasang sikap jaim, alias jaga imej. Dan, tentu saja, ada banyak orang dewasa yang tak punya referensi cerita-cerita aneh karena mereka mungkin tak memiliki pengalaman ”konyol” seperti itu.

Apakah kejadian serupa yang tengah “menggoyang“ kenyamanan politisi kita di gedung DPR juga bermotif sama, yakni fantasi seks yang umumnya menjangkiti kalangan mapan dan berduit? Boleh jadi, ya, atau bisa juga didasari oleh motif untuk menghancurkan karier politik atau citra partai sang politisi. Jika video porno bisa dijadikan senjata untuk memeras atau menjatuhkan karier, mengapa para politisi kita tak pernah kapok dan mau belajar dari pengalaman yang ada?

Masalahnya, seperti kata Freud, fantasi seksual adalah dorongan paling dahsyat dalam diri manusia. Satu saat ia bisa ada di bawah sadar, namun pada saat lain bisa mencuat ke permukaan. Saat fantasi seksual menggebu dan menemukan salurannya, saat itulah pria biasanya berada dalam posisi lemah. Permintaan apa pun dari si wanita yang menjadi teman kencannya, hampir pasti akan dipenuhi. Maka, saat si wanita—biasanya simpanan atau pelacur tingkat tinggi—minta adegan intim yang mereka lakukan direkam, pria yang telah dikuasai nafsu birahi itu biasanya tak berdaya untuk menolak.

Sebagai pria dewasa, YZ—dalam konteks kehidupan metropolis yang kian liberal dan pragmatis—sebenarnya tak lebih dari orang terkenal yang bernasib sial. Akan tetapi, dari sudut pandang etika, perbuatannya jelas mengusik moralitas publik, memurukkan citra partainya, dan lebih dari itu makin menyempurnakan potensi ketidakepercayaan rakyat terhadap kualitas moral para pemimpinnya. ***

Penulis adalah Program Officer ALNI Indonesia/dosen Ilmu Politik FISIP-UBK

Nasionalisme yang Tergadaikan

December 24, 2006

Nasionalisme yang Tergadaikan
Oleh L a u n a

SEJAK Budi Otomo mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi bumiputera yang bervisi ”semi-nasional” pada 20 Mei 1908, bisa dibilang proyek nasionalisme Indonesia sejak itu dimulai. Terhitung tahun 2008 nanti, proyek nasionalisme Indonesia berarti telah memasuki usia se-abad. Dalam rentang perjalanan panjang itu, eksperimentasi nasionalisme Indonesia – paling tidak – hingga kini telah menghasilkan wajah kemerdekaan dan integrasi nasional di bawah kepemimpinan Soekarno (1945-1966), serta formulasi pembangunan nasional dan integrasi teritorial di bawah kepemimpinan Soeharto (1966-1998).

Secara umum dapat dikatakan, jika pada masa Soekarno proyek nasionalisme diarahkan untuk mendesain suatu nation-state dengan fundamen nation and character building, maka pada masa Soeharto konsep ini terdesak oleh ideologi “developmentalism” yang bergerak di bawah formula administrative-state. Dengan kata lain, jika proyek nasionalisme Soekarno berhasil memadukan relasi masyarakat-negara ke dalam ikatan solidaritas sosial yang berhasil meleburkan sekat-sekat primordialisme sebagai energi penggerak persatuan bangsa, maka di era Soeharto nasionalisme justru melahirkan monopoli negara di satu sisi serta pemisahan negara dan masyarakat yang kian berjurang pada sisi lain.

Sejak era Soeharto hingga Yudhoyono-Kalla saat ini, nasionalisme Indonesia seakan tak berkaitan dengan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan. Negara Orde Baru hingga ordo reformasi tetap mempraktekkan sistem administrative-state yang terbukti gagal mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan bagi rakyat. Ideologi pembangunan yang berencana mewujudkan national-pride dan social welfare ternyata cuma sanggup melahirkan negara monopolis-oligarkis dimana seluruh urusan masyarakat disupervisi negara. Sebagai sebuah collective imagination, seperti diteorikan Ben Anderson, nasionalisme Orde Baru dus ordo reformasi yang berkuasa saat ini telah gagal berperan sebagai perkakas untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang adil dan bermartabat.

Di sini, nasionalisme Indonesia kontemporer bukan cuma paradoks dengan prinsip demokrasi dan visi keadilan sosial, akan tetapi ia juga menjadi paradoks dengan konsep kedaulatan nasional yang menjadi basis filosofisnya. Indonesia saat ini bukan cuma bagian dari jejeran negara-bangsa yang telah terjerat dalam skenario ekonomi-politik global, akan tetapi telah menjadi penerjemah fasih dari praktek kapitalisme-neoliberal. Penguasaan korporasi global (seperti Caltex, Freeport, atau Newmont) atas sumberdaya ekonomi nasional adalah sedikit fakta dari telah tergadaikannya kedaulatan ekonomi nasional.

Freeport, korporasi global milik Amerika Serikat, misalnya telah mengangkangi tambang emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur lebih dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton perak. Namun selama hampir 30 tahun mengeksploitasi kakayaan bangsa yang paling berharga (dengan pendapatan per tahun hampir 1,5 miliar dolar AS), Freeport hanya memberi bagi hasil (profit sharing) tak lebih dari 10-13 persen dari pendapatan bersih di luar pajak kepada pemerintah Indonesia. Apa yang ditinggalkan Freeport di Papua? 60 persen rakyat Papua tidak memiliki akses pendidikan, 35,5 persen tidak memiliki akses fasilitas kesehatan, dan lebih dari 70 persen hidup tanpa air bersih. Data HDI (Human Development Index) 2004 menunjukkan, Papua menempati urutan ke-212 (terutama mereka yang tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari 300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Inikah yang disebut dengan kemitraan global?

Sebaliknya, arus nasionalisme-sosialisme – sebagai bentuk penentangan terbuka terhadap globalisasi-neoliberalisme – kini menguat di kawasan Amerika Latin. Pemimpin seperti Fidel Castro (Kuba), Hugo Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Michele Bachelet (Cile), Luis Inazio Lula da Silva (Brasil), Tabare Vasquez (Uruguay), Alfredo Palacio (Ekuador), dan Nestor Kirchner (Argentina) adalah tokoh-tokoh sosialisme kiri-tengah yang dipilih rakyatnya akibat kemuakan kolektif rakyat di negara-negara kawasan “keluarga kiri” itu terhadap imperialisme Barat.

Di Bolivia misalnya, masalah eksploitasi sumber energi berkembang menjadi isu politik strategis setelah Morales mencanangkan langkah nasionalisasi atas sumber daya alam negerinya yang selama ini dikuasai asing. Morales meminta agar korporasi global milik Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada harus berperan sebagai “mitra” dan bukan menjadi “majikan” dalam mengeksploitasi kekayaan alam Bolivia.

Langkah berani Morales, dalam konteks nasionalisme Indonesia, bukanlah hal baru. Pada dekade 1960-an, Soekarno pernah melakukan hal yang sama dengan ucapannya yang amat terkenal “go to hell with your aid”. Pernyataan Soekarno dengan tegas menunjukkan bahwa ia tak sudi jika “proyek bantuan pembangunan Barat” menjadi alat politik untuk mengatur negerinya. Soekarno adalah tipikal pemimpin Dunia Ketiga yang tak pernah mau melihat kedaulatan bangsanya tergadaikan, persis seperti yang dilakukan Morales dan Chavez di Amerika Latin.

Lalu bagaimana dengan nasib nasionalisme Indonesia di bawah kepemimpinan Yudhoyono-Kalla? Wallahualam bisawab.***
Program Officer ALNI Indonesia dan Dosen Ilmu Politik FISIP-UBK