Melawan Kemiskinan

December 24, 2006

Melawan Kemiskinan
Oleh L a u n a

TANGGAL 17 Oktober lalu komunitas global baru saja merayakan hari anti kemiskinan se-dunia. Akan tetapi di negeri ini, kemiskinan adalah simbol sosial yang nyaris absolut dan tak terpecahkan. Sejak masa kolonial hingga saat ini, predikat negeri miskin seakan sulit lepas dari bangsa yang potensi kandungan kekayaan alamnya terkenal melimpah. Cerita pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan terjadinya berbagai musibah alam dan bencana buatan: gempa bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran hutan yang diikuti kabut asap. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini kian hari kian menyebar bak virus ganas, mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan, penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan.

Lepas dari perdebatan indikator yang digunakan, data kemiskinan di negeri ini terus menunjukkan trend memburuk. Jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 17 persen dari populasi penduduk yang kini telah mencapai angka 220 juta jiwa. Menurut data resmi Susenas (BPS, 2006), jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta jiwa (15,97 persen) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75 persen). Sementara jumlah penganggur menurut data Sakernas (BPS, 2006) juga terus meningkat dari 10,9 juta jiwa (10,3 persen) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta jiwa (10,4 persen) pada Februari 2006.

Padahal, perang melawan kemiskinan sudah ditabuh sejak lama di negeri ini. Di era Orde Baru, misalnya, pemerintah menggalang berbagai sarana dan cara untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan fisik digenjot di berbagai bidang, pertumbuhan ekonomi menjadi fokus perhatian, investasi asing digalakkan, berbagai jenis skema kredit investasi kecil dan kredit modal kerja digelar, bahkan utang luar negeri pun ditempuh sebagai alternatif untuk menopang idea of progress bernama pembangunan. Akan tetapi, karena keberpihakan ideologis pemerintah tak jelas, hasil pembangunan ala Orde Baru itu tak bisa sepenuhnya bisa dirasakan rakyat lapis bawah. Yang terjadi, seluruh angka-angka keberhasilan pembangunan yang digarap secara intens selama 30 tahun itu, rontok tersapu krisis ekonomi dan gejolak politik tahun 1998.

Meski pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi virus endemis yang terus mendera rakyat. Secara empirik, data pemerintah menunjukkan, 70 persen rakyat kita menggantungkan sumber penghidupannya dari sektor ekonomi mikro berbasis sumber daya alam terbarukan. Di sektor pertanian, petani kita telah sejak lama mengembangkan tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan. Di sektor kelautan dan perikanan, nelayan kita sanggup mengembangkan perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri bioteknologi kelautan, dan non-conventional ocean resources. Sementara di sektor kehutanan, masyarakat kita mampu mengoptimalkan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan agroforestry.

Pada level teknis, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 persen anggaran pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana pembangunan yang berjumlah lebih dari Rp 50 triliun parkir di Bank Indonesia. Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola dana pemerintah daerah), lebih dari Rp 40 triliun juga parkir dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana “menganggur” ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan pertumbuhan sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Pada level global, Indonesia juga telah masuk dalam kategori negara yang paling gagal dalam pencapaian target-target Millenium Development Goals (MDGs), sebuah komitmen global yang ikut ditandatangani pemerintah Indonesia guna mengatasi masalah kemiskinan akut. Padahal, kucuran dana yang datang dari World Bank, IMF, ADB, CGI, dan donor bilateral (baik dalam bentuk hibah maupun utang) yang mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan mencapi angka puluhan milyar dolar. Di sini, komitmen melawan kemiskinan menjadi patut dipertanyakan.

Contoh nyata melawan kemiskinan sebenarnya telah terbentang di depan mata. Pada aras global, gerakan masyarakat sipil anti globalisasi-neoliberal (sejak Seattle, Cancun, Hongkong, hingga Singapura) terus menyerukan ”Global Call to Action Against Poverty”. Mereka dengan gamblang menunjukkan berbagai metode dan aksi-aksi politik nyata guna melawan sumber-sumber kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian 2006, yang mendesain model ”Bank Grameen” (dan fungsi intermediasi)-nya sebagai solusi efektif memerangi kemiskinan di Bangladesh, sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi kita dalam melawan kemiskinan.

Masalahnya sekarang, apakah para elite, politisi, dan birokat kita punya keberpihakan ideologis untuk melawan kemiskinan? Adakah komitmen tegas dari para penentu kebijakan negara untuk memberantas KKN secara radikal? Jika negara tak sanggup menyatakan perang terhadap kemiskinan, gagal dalam memerangi korupsi, dan tetap malas melaksanakan agenda reformasi sebagai perintah konstitusi, maka kemiskinan bangsa—yang di masa kolonial pernah disebut ”nation van Koelis”—mungkin akan menjadi simbol abadi negeri ini. ***

Program Officer ALNI Indonesia dan dosen Ilmu Politik FISIP-UBK

3 Responses to “Melawan Kemiskinan”

  1. broto sunaryo said

    Untuk melawan miskin di Indonesia harus melalui pemerintahan yang handal. Pemerintahan handal karena dukungan para menteri yang handal pula. Pmilihan menteri yang handal adalah hak prerogatif presiden. Disini presiden dalam memilih jangan terpengaruh pada kepentingan partai. Lakukan metode pemilihan dengan seleksi alam. Dalam jangka satu bulan lakukan proses pemilihan dengan mencari seorang terbaik dalam bidangnya. Untuk itu undang orang2 profesional untuk bertemu adu argumen, masing akan nampak keunggulannya. Presiden tinggal menilai disitu, mana yang akan diambil. Setelah diperoleh satu aspek ganti aspek yang lain, demikian juga untuk selanjutnya pemilihan seorang profesianal bidang yang lain.

  2. Andri Irawan, S.H. said

    Dengan adanya UU Tentang Pemerintahan Daerah, peran pusat tidak lagi sepenting dulu (baca : bukan berarti peran pusat tidak). Daerah mempunyai peran yang signifikan dalam pengentasan kekmiskinan. Pemimpin daerah menjadi perpanjangan tangan dari pusat melalui konsep delegasi yang diatur dalam UU ini. Berbicara Organ, tidak bisa dilepaskan peran pemimpin dari organ tersebut. Untuk itu maka, dalam hal pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara selektif. Calon pemimpin daerah manakah yang mempunyai kepedulian terhadap kaum miskin. Bukan hanya sekedar janji, tapi realitasnya seperti apa. Hal-hal apa saja yang telah dilakukannya menjadi pertimbangan dalam menentukan kepala daerah. Sudah saatnya masyarakat untuk menilai. Bukan top-down (atas ke bawah), namun bottom-up (dari bawah ke atas).

  3. dwi budi said

    Untuk melawan kemiskinan harus pembenahan yang strategis mulai dari sektor eksternal maupun internal dengan cara pemerataan di segala bidang yang dapat menunjang. pemerataan tersebut mulai dari menempatkan seseorang masyarakat agar ikut andil dalam bidang pemerintahan dengan kata lain masyarakat ikut campur dalam segala hal.
    dan juga masyarakat memerlukan pemimpin yang tegas, dimana nasib dari semua rakyat adalah tanggung jawab dari seorang pemimpin dimana untuk mensejahterahkan.

Leave a reply to broto sunaryo Cancel reply