HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA

June 17, 2006

HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA
Kamis, 17 Juni 2004 

TEMPO Interaktif
Persoalan buruh migran menjadi salah satu agenda penting dalam WCAR (World Conference Against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia dan Related Intolerance) yang berlangsung pada tanggal 31 Agustus – 7 September 2001 di Durban, Afrika Selatan. Oleh masyarakat internasional, buruh migran dianggap sebagai entitas sosial yang dalam sejarah kemanusian senantiasa menghadapi tantangan rasialisme, perbudakan, diskriminasi dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi lainnya.

Sangat disayangkan sebagai negara yang menjadi daerah asal buruh migran, Indonesia (terutama pihak Pemerintah RI) tidak pro-aktif dalam perbincangan dan perdebatan masalah buruh migran di pertemuan tingkat dunia tersebut. Kesempatan berpidato Menteri Kehakiman dan HAM RI, Prof DR. Yusril Ihza Mahendra, SH selaku Ketua Delegasi RI di hadapan peserta konperensi, sama sekali tidak menyinggung masalah buruh migran Indonesia. Seakan bukan persoalan krusial. Justru Ms. Gabriela Rodriguez, United Nations Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants (Pelapor Khusus PBB mengenai hak-hak buruh migran) memberi perhatian yang sangat khusus terhadap persoalan-persoalan buruh migran Indonesia.

Ketidaksensitifan pemerintah Indonesia bukan suatu kecelakaan. Presiden Megawati dalam progress reportnya di depan Sidang Tahunan MPR November 2001 menyatakan bahwa telah banyak kemajuan yang dialami dalam upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia (buruh migran Indonesia) di luar negeri, hak-hak perempuan dan hak anak. Pernyataan ini tentu sangat diharapkan jika memang realitasnya demikian. Apabila pernyataan tersebut dihadapkan pada kondisi sebenarnya dari para buruh migran Indonesia di luar negeri, khususnya kaum perempuan dan anak-anak, sangatlah bertolak belakang. Maka pernyataan itu lebih tepat dianggap sebagai retorika politik belaka.

Berdasar data KOPBUMI sepanjang tahun 2001 terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang, dengan perincian 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang diPHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransi ,25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah. Sementara itu dalam 3 bulan pertama tahun 2002 ini, terjadi eskalasi pelanggaran HAM buruh migran Indonesia di Malaysia seperti penangkapan paksa, razia, pemerasan, penyiksaan dalam kamp tahanan dan pengusiran paksa. Pemerintah Malaysia secara legal akan membatasi masuknya buruh migran asal Indonesia. Sebagaimana tampak akhir-akhir ini hal tersebut mendorong terjadinya deportasi besar-besaran buruh migran Indonesia dari Malaysia yang senantiasa disertai dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.

Diskriminasi buruh migran Indonesia tidak mengenal tempat. Di dalam negeri, mereka diperlakukan sebagai komoditi dan warga negara kelas dua. Mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif mulai dari saat perekrutan, di penampungan, pemberangkatan maupun saat kepulangan. Terminal III Bandara Soekarno Hatta merupakan tempat nyata dari bentuk diskriminasi terhadap buruh migran Indonesia; dengan memisahkan mereka dengan penumpang umum lainnya.

Sebagai buruh asing di negara tempat bekerja, buruh-buruh ini juga diberlakukan secara diskriminatif. Mereka dilarang mendirikan serikat buruh atau masuk dalam serikat buruh setempat. Buruh migran perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT/Pembantu Rumah Tangga) memperoleh upah lebih rendah dibanding buruh migran laki-laki. Karena waktu kerja yang ketat, banyak buruh migran dihalang-halangi untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.

Lebih dari itu jumlah buruh migran Indonesia yang sebagian besar perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi gender. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik, perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran Indonesia.

Pemerintah memang telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang terkait dengan diskriminasi (misalnya, CEDAW/Konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan berbagai Konvensi ILO). Meskipun demikian implementasi kebijakan masih mengandung semangat diskriminasi bahkan kebijakan penempatan buruh migran sudah mengarah pada kebijakan perdagangan manusia.

Dalam pembahasan di WCAR, terdapat kemajuan berupa pengakuan hak-hak buruh migran. Dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam WCAR, yang menjadi landasan program aksi bersama negara-negara, terdapat klausul-klausul yang mengukuhkan eksistensi buruh migran (termasuk di dalamnya domestic helper) sebagai subyek yang harus dilindungi hak-hak asasinya. Terdapat pula keharusan untuk menghindari terjadinya proses trafficking (perdagangan manusia) serta dihargainya hak-hak keluarga buruh migran untuk berkumpul kembali di negara tujuan bekerja. Dokumen itu juga sepakat bahwa buruh migran memiliki hak atas upah yang sama, asuransi sosial, status hukum yang sama dengan buruh setempat dan menghargai hak-hak ekspresi kultural.

Sebagai komitmen untuk melindungi hak-hak buruh migran dan mencegah berlangsungnya perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak WCAR juga merekomendasikan negara-negara anggota meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, 1990 dan United Nations Convention against Transnational Organized Crime, the Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children,

Tentunya Indonesia yang merupakan negara anggota PBB dan asal buruh migran wajib memenuhi rekomendasi-rekomendasi diatas. Bahkan disamping Nepal dan Bangladesh, Indonesia merupakan negara yang diharapkan akan meratifikasi dalam waktu cepat mengingat perlindungan yang diberikan konvensi itu juga akan melindungi kepentingan warga Indonesial Ratifikasi atas Konvensi Perlindungan Buruh-buruh Migran dan Keluarganya 1990 akan mempercepat keberlakuannya secara efektif (dibutuhkan ratifikasi 20 negara untuk itu dan saat ini sudah mencapai 19 negara). Komitmen ini sebenarnya hanya merealisasikan janji ratifikasi sebagaimana tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 1998-2003, namun ternyata hingga saat ini inisiatif Pemerintah belum ada.

Di tingkat nasional, Indonesia juga harus segera menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dan membuat Bilateral Agreement yang melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri. Seiring dengan hal tersebut, kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia harus dihapuskan.

Sebagai langkah awal yang konkrit, delegasi RI yang mengikuti konperensi tersebut bisa memulai dengan mensosialisasikan hasil-hasil WCAR dengan melibatkan secara penuh para pihak dan konstituen terkait (Departemen Luar Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kehakiman dan HAM, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, NGO, Pers dan buruh migran).

Disamping itu, Pemerintah Indonesia juga perlu mengundang Ms Gabriela Rodriguez, Pelapor Khusus PBB mengenai hak-hak buruh migran untuk datang ke Indonesia dan negara-negara Timur Tengah serta Malaysia agar memantau dan menginvestigasi serta melaporkan masalah pelanggaran hak asasi manusia buruh migran Indonesia.

Sumber: Komnas HAM

Leave a comment